Awal Mula Wajibnya Zakat
Zakat fitrah baru disyariatkan di Madinah tahun ke-2 Hijriyah.
Tepatnya sebelum adanya kewajiban
mengeluarkan zakat harta. Kewajiban mengeluarkan zakat selalu dibersamakan
dengan kewajiban salat, hal ini menunjukan begitu pentingnya zakat dalam agama (baca: Syari’atullah
al-Khalidah)
Fukaha Syafiiyah
sepakat bahwasanya zakat diwajibkan atas setiap anak Adam yang masih bernyawa
di bulan Ramadhan dan bulan malam hari raya. Kewajiban zakat fitrah berlaku
pada setiap manusia; tua, muda, kaya dan miskin, namun kewajiban
zakat fitrah anak-anak dan orang yang tidak mukalaf (tidak
balig/tidak berakal) dibebankan pada walinya.
Problematika
Di zaman modern
ini ada beberapa lembaga penyalur zakat yang menawarkan kemudahan dalam berzakat; muzakki (orang yang
berzakat) tidak perlu membawa beras
ke lembaga tersebut, tapi cukup dengan membawa uang senilai dengan nilai zakat
fitrah (2.5 kg menurut satu
pendapat dalam kitab Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah). Banyak juga kasus-kasus serupa di daerah
lain yang juga mempermasalahkan, apakah benar zakat boleh diganti dengan uang?
Bolehkah Zakat Diganti Uang?
Ulama berselisih
pendapat tentang bolehnya istibdal (mengganti zakat dengan uang); kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa mengganti
zakat dengan uang tidak diperbolehkan. Sebab hal itu tidak sesuai dengan
apa yang diperintahkan oleh Nabi saw.; memang ada sebagian pendapat dalam mazhab Syafii yang memperbolehkan,
namun pendapat itu dianggap lemah dan syadz.
Kalangan
Hanafiyah berpendapat lain, mereka mengatakan bahwasanya boleh-boleh saja
mengganti zakat dengan uang, bahkan mereka menganggap hal itu lebih baik dan
lebih tepat, karena uang lebih bermanfaat bagi orang fakir miskin
daripada beras.
Solusi Khilaf
Ustaz Abdus Shomad merujuk pada kitab Tahqiq al-Amal fi Ikhraj
Zakat al-Fithr bi al-Mal karangan Imam al-‘Allamah Ahmad bin ash-Shiddiq
al-Ghumari Mesir, mengunggulkan pendapat yang kedua. Dalam kitabnya, Imam Ahmad
al-Ghumari menyebutkan dalil-dalil yang cukup banyak—mencapai tiga puluh dua
dalil—yang menguatkan pendapat Mazhab Hanafi yang memperbolehkan istibdaluz-zakat.
Di antaranya, pendapat yang memperbolehkan mengganti zakat ini merupakan
pendapat sekelompok ulama’ dan tabi’in. Seperti Hasan al-Bashri, Umar bin Abdul
Aziz dan Sufyan as-Tsauri. Syaikh Ali Jumah juga termasuk ulama masa kini yang
memperbolehkan, bahkan memandang bahwa zakat yang diganti dengan uang lebih
utama.
Namun alangkah bijaknya jika kita mengambil pendapat yang pertengahan. Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan, "Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya)". Maka pengeluaran zakat adalah dengan mempertimbangkan apa yang lebih dibutuhkan oleh obyek zakat (fakir/miskin). Karena sebagaimana kita ketahui, bahwasannya syariat zakat ini ada untuk meringankan beban mereka. Jika zakat yang kita berikan justru tidak memberi manfaat pada mereka, atau bahkan menyulitkan mereka bagaimana? Wallahu A'lam.
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.