0 Comment
Lemahnya Dalil Wahabi
Khalid Basalamah, Salah Satu Ustaz Wahabi Indonesia

Belakangan jika kita mengamati masyarakat di sekeliling kita, kita akan dengan mudah mendapati sebuah kelompok yang dengan mudahnya menolak perbuatan yang mereka anggap salah. Ketika melihat satu hal yang tidak mereka pahami serta belum pernah mereka dengar hujjah dan dalilnya dari pemuka kelompok mereka, mereka dengan serta-merta akan menolak dan membidah-bidahkan amaliyah tersebut.  Mereka dengan lantang akan  mengatakan, "Hey, perbuatan itu tidak boleh. Perbuatan itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi!". Akibatnya, beragam amaliyah khas kaum Nahdliyyin menjadi korban tuduhan jahat mereka. Tahlilan, maulidan, manaqiban, dan beragam perayaan hari besar Islam disalahkan, dibidah-bidahkan. Pertanyaannya, apakah benar bahwasannya apa-apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah e bisa dipastikan bahwa hal itu tidak baik? Apa benar jika ada suatu hal tidak pernah diperbuat oleh Rasulullah  e berarti perbuatan itu haram atau makruh?

Kaum Salafi-Wahabi biasanya bertanya, "Nabi pernah melakukannya? Jika tidak ya berarti tidak boleh." logika semacam itu merupakan logika yang keliru. Pasalnya mereka menjadikan at-Tarku/Tarkun-Nabi (Tidak melakukannya Nabi pada sebuah perbuatan) sebagai dalil. Padahal dari dalil-dalil syariat, baik yang mujma' 'alaih seperti al-Quran, Hadis, Ijma' dann Qiyas, ataupun yang mukhtalaf fih, tidak akan pernah kita jumpai at-Tarku dijadikan sebagai dalil. Penggunaan dalil at-Tarku semacam itu tidak pernah dikenal di kalangan ulama.

Penggunaan dalil Tarku ini terbukti cacat. Para shahabat dan para ulama' salaf tidak ada yang menggunakan Tarkun Nabi sebagai dalil dari sebuah hukum. Penggunaan Tarku sebagai dalil baru dibidahkan oleh tokoh Salafi-Wahabi, Ibnu Taimiyah, kemudian terus diikuti oleh para pengikutnya. Bahkan penggunaan dalil Tarku saat ini telah menjadi semacam manhaj pemikiran kelompok Salafi-Wahabi. Jika tidak pernah diperbuat Nabi berarti haram. Bidah. (Lihat Husnut-Tafahumi wa ad-Darki li Mas’alatit-Tarki lil Imam Abdullah Shadiq al-Ghumary).

Dalil Tarku ini bermula dari sebuah kaidah yang masyhur di kalangan kaum Wahabi, yaitu:
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, pasti mereka (para shahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya".
Dengan kacamata tekstualis dan jumud, mereka menjadikan ayat ini sebagai tendensi dakwaan mereka, bahwasannya apa yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga para shahabatnya sudah pasti buruk dan haram dilakukan. Karena menurut mereka generasi terbaik tidak mungkin meninggalkan hal-hal yang baik. Seadainya saja hal yang mereka anggap bidah tahlilan misalnya adalah perbuatan yang baik, tentunya Rasulullah dan para shahabatnya akan bersegera melakukannya dan tidak mungkin meninggalkannya. Kaidah ini tentu saja bertentangan dengan sunah yang sahih. Dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan:

عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ   قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ   يَقُوْلُ نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهٌ, فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ اِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ وَفِيْ رِوَايَةٍ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.
“Shahabat Zaid berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah didengarnya. Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadis dariku tidak dapat
Ad
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
 “Dan apa-apa yang didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarang Rasul maka tinggalkanlah”. (Al-Hasyr:7)
Dari Abu Hurairah t, dari Nabi e, beliau bersabda

دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.

”Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa sebab banyaknya pertanyaan mereka serta penyelisihan mereka keras para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian” [Muttafaqun ’alaihi].

Maka, di sini kita dapat melihat bahwasannya dalam syariat Islam hanya ada dua hal; yaitu sesuatu yang diperintahkan dan sesuatu yang dilarang. Maka suatu hal yang tidak terdapat keterangan bahwasannya hal itu masuk dalam cakupan perintah atau larangan, maka tidak patut untuk dihukumi haram, namun masuk dalam cakupan hukum mubah atau maskut ‘anhu (hal yang tidak dibahas oleh syara).

Mustafid Ibnu Khozin

Posting Komentar

 
Top