![]() |
Khalid Basalamah, Salah Satu Ustaz Wahabi Indonesia |
Belakangan
jika kita mengamati masyarakat di sekeliling kita, kita akan dengan mudah
mendapati sebuah kelompok yang dengan mudahnya menolak perbuatan yang mereka
anggap salah. Ketika melihat satu hal yang tidak mereka pahami serta belum
pernah mereka dengar hujjah dan dalilnya dari pemuka kelompok mereka, mereka
dengan serta-merta akan menolak dan membidah-bidahkan amaliyah tersebut. Mereka dengan lantang akan mengatakan, "Hey, perbuatan itu tidak
boleh. Perbuatan itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi!". Akibatnya,
beragam amaliyah khas kaum Nahdliyyin menjadi korban tuduhan
jahat mereka. Tahlilan, maulidan, manaqiban, dan beragam perayaan hari besar
Islam disalahkan, dibidah-bidahkan. Pertanyaannya, apakah benar bahwasannya
apa-apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah e bisa
dipastikan bahwa hal itu tidak baik? Apa benar jika ada suatu hal tidak pernah
diperbuat oleh Rasulullah e
berarti perbuatan itu haram atau makruh?
Kaum
Salafi-Wahabi biasanya bertanya, "Nabi pernah melakukannya? Jika tidak ya
berarti tidak boleh." logika semacam itu merupakan logika yang keliru.
Pasalnya mereka menjadikan at-Tarku/Tarkun-Nabi (Tidak melakukannya Nabi
pada sebuah perbuatan) sebagai dalil. Padahal dari dalil-dalil syariat, baik
yang mujma' 'alaih seperti al-Quran, Hadis, Ijma' dann Qiyas, ataupun
yang mukhtalaf fih, tidak akan pernah kita jumpai at-Tarku dijadikan
sebagai dalil. Penggunaan dalil at-Tarku semacam itu tidak pernah
dikenal di kalangan ulama.
Penggunaan
dalil Tarku ini terbukti cacat. Para shahabat dan para ulama' salaf
tidak ada yang menggunakan Tarkun Nabi sebagai dalil dari sebuah hukum.
Penggunaan Tarku sebagai dalil baru dibidahkan oleh tokoh Salafi-Wahabi,
Ibnu Taimiyah, kemudian terus diikuti oleh para pengikutnya. Bahkan penggunaan
dalil Tarku saat ini telah menjadi semacam manhaj pemikiran kelompok
Salafi-Wahabi. Jika tidak pernah diperbuat Nabi berarti haram. Bidah. (Lihat Husnut-Tafahumi
wa ad-Darki li Mas’alatit-Tarki lil Imam Abdullah Shadiq al-Ghumary).
Dalil Tarku ini bermula dari sebuah
kaidah yang masyhur di kalangan kaum Wahabi, yaitu:
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, pasti mereka (para
shahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya".
Dengan
kacamata tekstualis dan jumud, mereka menjadikan ayat ini sebagai tendensi
dakwaan mereka, bahwasannya apa yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga
para shahabatnya sudah pasti buruk dan haram dilakukan. Karena menurut mereka
generasi terbaik tidak mungkin meninggalkan hal-hal yang baik. Seadainya saja
hal yang mereka anggap bidah tahlilan misalnya adalah perbuatan yang baik,
tentunya Rasulullah dan para shahabatnya akan bersegera melakukannya dan tidak
mungkin meninggalkannya. Kaidah ini tentu saja bertentangan dengan sunah yang
sahih. Dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan:
عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا
حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهٌ, فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ اِلَى
مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ وَفِيْ
رِوَايَةٍ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.
“Shahabat Zaid berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia
mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah didengarnya. Karena
tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadis dariku tidak dapat
Ad
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa-apa
yang didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarang Rasul
maka tinggalkanlah”. (Al-Hasyr:7)
Dari
Abu Hurairah t,
dari Nabi e, beliau
bersabda
دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ،
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
”Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian.
Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa sebab banyaknya pertanyaan mereka serta
penyelisihan mereka keras para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu
kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada
kalian, kerjakanlah semampu kalian” [Muttafaqun ’alaihi].
Maka,
di sini kita dapat melihat bahwasannya dalam syariat Islam hanya ada dua hal;
yaitu sesuatu yang diperintahkan dan sesuatu yang dilarang. Maka suatu hal yang
tidak terdapat keterangan bahwasannya hal itu masuk dalam cakupan perintah atau
larangan, maka tidak patut untuk dihukumi haram, namun masuk dalam cakupan hukum
mubah atau maskut ‘anhu (hal yang tidak dibahas oleh syara).
Mustafid Ibnu Khozin
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.