1 Comment

Bahaya memilih pemimpin non-Muslim-Kafir


ياأيهاالذين أمنوا لاتتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض ومن يتولهم منكم فاءنه منهم ان الله لايهدي القوم الضالمين 
{المائدة : (5) 51}
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu, mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk dalam golongan mereka. Sungguh Allah I tidak memberi petunjuk kepada orang yang dzalim.” (QS al-Maidah [5]: 51)
Prolog
Kontroversi ideologi mengenai penyebab turunnya ayat ini sudah sangat popular dikalangan Ulama Mufassirin: mulai dari masalah kepemimpinan, penolong, teman akrab, kekasih ataupun sekutu. Syariat Islam melarang semua kategori ini untuk diterapkan demi kepentingan orang Yahudi dan Nasrani (baca: kafir), baik berkaitan dengan urusan duniawi, akidah ataupun syari’at.
Menjadikan orang kafir sebagai teman akrab sangat tidak diperbolehkan, apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin umat Islam. Karena jika sampai menjadikan mereka sebagai kepala pemerintahan ataupun sekutu, berarti ada unsur kerelaan terhadap perilaku dan tindakan yang dilakukan pemimpin kafir tersebut, meski secara tidak langsung.
Jika sudah begitu, suatu saat pasti timbul rasa kasih kepada mereka. Ada unsur kerelaan kepada pihak kafir dalam hal ajaran yang di anut, kepribadian yang dimiliki, ataupun etika dalam bertindak. Mau ataupun tidak, umat yang akan di pimpin harus tunduk dan patuh pada aturan pemimpin. Maka, atas dasar inilah ulama melarang orang Islam menjadikan pemimpin dari kalangan kafir.1
Kronologi
Ada banyak riwayat mengenai penyebab turunnya ayat ini, di antaranya yang masyhur dikalangan Ulama Mufassirin adalah permasalahan Shahabat Ubadah bin ash-Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul (pemimpin munafikin). Diceritakan dari Ibnu Syaibah dan Ibnu Jarir, bahwa Shahabat Ubadah bin ash-Shamit (dari Bani Khazraj) datang menghadap Rasulullah r seraya berkata: “Ya Rasulallah r. Saya punya ikatan persahabatan dengan kaum Yahudi, dan mereka seperti kawan akrab saya. Saya ingin dekat dengan Allah I dan Rasul-Nya, dengan cara meninggalkan hubungan saya dengan mereka.”
Mendengar ucapan tersebut, Abdullah bin Ubay yang berada di samping Ubadah berkata: “Saya ini lelaki penakut. Tapi saya khawatir, nanti orang Yahudi akan memberontak jika kita putus hubungan dengan mereka.” Maka Rasulullah r berkata pada Abdullah bin Ubay: “Perasaan yang tersirat dalam hatimu mengenai hubungan orang-orang Yahudi dengan Ubadah biarkan berlalu. Hubungan akrab semacam itu kamu saja yang melakukan, wahai Abal Habbab (kunyah Abdullah bin Ubay).” Abdullah bin Ubay menjawab: “Kalau begitu saya terima.” Lalu turunlah ayat dimaksud.2
Begitu juga diceritakan, Sayidina Umar pada saat menjadi khalifah (presiden), beliau mengangkat Shahabat Abu Musa al-Asyari sebagai gubernur Syam. Selang beberapa tahun, ada laporan administrasi manajemen keuangan di daerah Syam sangat baik sekali. Sayidina Umar tertarik ingin mengerahui perkembangannya. Akhirnya beliau memanggil sang gubernur ke Madinah.
Sesampai Abu Musa al-Asyari beserta sekretarisnya di Madinah, Sayidina Umar pada saat itu berada di masjid. Abu Musa lalu masuk masjid menemui Sayidina Umar, sedangkan sekretarisnya berada di luar masjid. Sayidina Umar bertanya: “Mana sekretarismu, wahai Abu Musa?“ Shahabat Abu Musa menjawab: “Dia berada di luar masjid.”
“Apakah dia sedang junub?“ kata Sayidina Umar. Abu Musa menjawab: Tidak, wahai khalifah. Dia seorang Nasrani, makanya tidak mau masuk masjid. Mendengar jawaban tersebut, Sayidina Umar marah dan menyuruh Abu Musa agar memecatnya dari jabatan sekretaris, seraya mengutip QS al-Maidah [5]: 51.3
Ayat Munasabah
Sebenarnya banyak sekali ayat al-Quran yang sepadan dengan QS al-Maidah [5]: 51 tadi, diantaranya:
·         QS Ali Imran []: 28
·         QS Ali Imrah []: 118
·         QS al-Mujadalah []: 22
·         QS an-Nisa’ []: 44
·         QS al-Mumtahanah []: 01
·         QS al-Anfal []: 73
Dari berbagai ayat munasabah di atas, semuanya berisi larangan menjadikan orang kafir sebagai kekasih maupun teman setia. Tetapi ada khilaf ulama mengenai kata أولياء . Menurut Imam ath-Thabari dalam karyanya Tafsirth-Thabari, kata أولياء tersebut bermakna و حلفاء  المحب yang artinya cinta dan sekutu.
Sedangkan menurut Imam Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya Tafsirul-Munir, beliau mencantumkan makna أولياء dengan ungkapan نصراء و الحلفاء وتوا دونهم وتوالونهم , yang artinya penolong, sekutu, teman akrab dan sebagai pemimpin.4
Sedangkan menurut Imam Ahmad ash-Shawi dalam kitabnya Hasyiyatush-Shawi, menafsiri lafadz أولياء dengan lafadz وتوا دونهم وتوالونهم أصدقاء , yang artinya teman setia, sebagai pemimpin atau berbelas kasih kepada mereka.5
Kesimpulan
Dari penafsiran ulama di atas, dapat diketahui bahwa objek khitab yang disampaikan oleh Allah I dalam QS al-Maidah []: 51 itu tertuju pada orang-orang mukmin. Berisi larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pelindung, penolong, dan teman akrab.
Selanjutnya, apabila ada seorang yang sudah sering berteman ataupun mengasihi mereka, lama-lama dia pasti akan terpengaruh oleh sugesti temannya yang kafir tersebut. Sehingga membuat dirinya rela mengorbankan segala yang di miliki demi teman kafirnya, yang kemudian membuat dirinya lalai akan anjuran syari’at terkait larangan berteman dengan orang kafir.
Dari sinilah kemudian Ulama Mufassirin membuat pendekatan melalui mafhum aulawi dari ayat tersebut, dengan berkomentar bahwa menjadikan orang kafir sebagai teman saja tidak diperbolehkan apalagi mengangkat mereka sebagai pemimpin. Tentu saja hal ini sangat dilarang oleh ajaran Syari’at Islam.Wallahu A'lam.

Posting Komentar

  1. I like all of your posts more, those who write about Islamic Malumat can understand it very easily, I liked your post very much.
    Thanks for sharing this post with us
    Tayammum Karne Ka Tarika | तयम्मुम करने का तरीका हिंदी में

    BalasHapus

 
Top