3 Comment



oleh: Ustaz Moh. Achyat Ahmad
Tentunya, setiap orang menginginkan bagaimana sekiranya ia bisa hidup di dunia dengan penuh kedamaian, ketenangan, ketenteraman, kenikmatan, kebahagiaan, dan hal-hal lain yang menyenangkan, jauh dari setiap kesusahan, kesedihan, malapetaka, kesengsaraan, rasa sakit, dan setiap hal yang tidak menyenangkan.
Namun faktanya ternyata tidak demikian, dan yang terjadi justru adalah hal yang sebaliknya. Bahwa tidak satupun orang yang hidup di dunia, melainkan ia akan merasakan suka juga duka, kehidupan dan kenikmatan, kesejahteraan juga kesengsaraan, kebahagiaan dan penderitaan, kesuksesan dan kegagalan, dan seterusnya.
Hal ini terjadi karena memang sudah fitrah kehidupan dunia yang ditetapkan oleh Allah I, yakni sunnatullah yang tidak akan bisa diubah atau diganti selama-lamanya, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam firman-Nya: Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 35).
Pada tempat lain dalam al-Quran, Allah I juga berfirman yang artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah [2]: 155).
Kemudian, jika hukum alam yang ditetapkan Allah I di dunia ini (sunnatullah) adalah sedemikian, lalu apa hikmah yang ada di balik itu? Hal ini penting untuk kita ketahui agar kita bisa menghadapi dua macam warna kehidupan dunia itu dengan baik dan benar. Karena keliru dalam menyikapi keduanya, akan menjebak kita pada malapetaka dan kecelakaan yang abadi. Na’ûdzubillâh min dzâlik.
Hikmah pertama adalah, bahwa manusia merupakan makhluk yang diistimewakan oleh Allah I dengan dianugerahi kebebasan dalam melakukan apa yang diinginkan. Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lian, seperti matahari, bulan, bintang-bintang dan planet-planet, gunung-gunung, lautan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan seluruh benda-benda mati; mereka semua tidak memiliki kebebasan dan pilihan apapun dalam segala apa yang mereka lakukan dan segenap apa yang terjadi pada diri mereka.
Namun di samping kebebasan itu, Allah menimpakan pada manusia hal-hal yang ada di luar batas kemampuan, kebebasan dan pilihannya. Artinya sekalipun mereka memiliki kebebasan dan pilihan, mereka tak bisa menghindar dari hal yang tidak menyenangkan ini, seperti tertimpa musibah, kehilangan, terjatuh, tabrakan, sakit, meninggal dunia, dan segenap hal lain yang tak pernah diinginkan terjadi pada manusia, namun manusia takkan pernah bisa menghindarinya.
Dengan kenyataan seperti itu, maka manusia akan menyadari sifat ketidak-mampuan, kelemahan, dan kehambaannya; bahwa sekalipun mereka memiliki kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan, taat atau maksiat, melakukan kebaikan atau keburukan, dan pilihan-pilihan yang ada dalam kuasanya, namun tetap ada begitu banyak hal yang tidak ada dalam kuasa dan kendalinya, yang semuanya menunjukkan bahwa ia tetaplah merupakan seorang hamba yang tidak punya daya dan upaya apa-apa. Segala daya dan upaya pada hakekatnya hanya milik Allah I.
Hikmah kedua dari adanya suka-duka dalam kehidupan dunia ini adalah, bahwa Allah I menjadikan dunia ini sebagai rumah taklîf, yakni tempat di mana manusia diberi beban-beban yang memberatkan pada dirinya, baik dengan cara diwajibkan untuk melakukan segala apa yang tidak mereka senangi, maupun dilarang untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya sangat mereka sukai.
Sebagai rumah taklîf, tentu saja mengharuskan kehidupan dunia ini untuk diisi dengan warna-warna yang tidak menyenangkan, berupa segalam macam cobaan dan ujian yang memberatkan. Karena jika kehidupan dunia ini hanya diisi dengan kenikmatan, kebahagiaan, ketenteraman, dan segala hal yang menyenangkan saja, tentu manusia tidak akan pernah mengharapkan surga dan tak pernah mencita-citakan alam akhirat yang kekal.
Namun karena dunia ini penuh cobaan dan rintangan, maka manusia akan menyadari bahwa kehidupan dunia ini bukan kehidupan yang abadi; dunia hanya tempat menanam dan mengumpulkan bekal menuju kehidupan akhirat yang abadi. Kehidupan dunia hanya sebentar, sama seperti orang yang melakukan perjalanan yang tentu hanya sementara, untuk kemudian sampai ke tempat tujuan dan hidup selamanya di sana.


Posting Komentar

 
Top