Konon,
suatu hari Syaikh Ibrahim bin Adham, keluar rumah hendak mengunjungi seorang
sahabat. Di tengah jalan sang syaikh bertemu seorang prajurit. Melihat ada
orang asing, si prajurit lalu bertanya: “Apakah engkau seorang budak sahaya?”
“Betul,” jawab syaikh singkat. “Bisakah engkau tunjukkan, dimana arah pemukiman
penduduk?” Tanpa sepatah kata, Ibrahim menuding ke arah kuburan.
Si prajurit
meyakinkan jawaban syaikh dengan mengulang pertanyaannya. Kali ini Syaikh
Ibrahim menjawab lugas: “Kuburan”. Si prajurit geram lalu memukul kepala beliau
hingga mengucurkan darah. Bukannya marah, Ibrahim malah mendoakan si prajurit
masuk surga. Kala ditanya perihal sikapnya Ibrahim beralasan: “Bukankah
prajurit itu telah menghadiahiku sebongkah pahala? Sudah selayaknya aku balas
kebaikannya”. Berkat sabar menahan emosi dan tidak meluapkan amarah, Syaikh
Ibrahim bisa memetik pahala besar.
Dunia sufi memang
penuh rahasia. Perilaku dan tutur kata sarat akan makna. Nalar dan corak
berpikirnya sulit dicerna kalangan akar rumput. Kisah tadi merefleksikan
kearifan kaum sufi. Mereka tidak kenal dengki, sakit hati, balas dendam, atau
perangai buruk lainnya. Air tuba dibalas air susu, racun ditukar madu. Di aniaya
dan dizalimi malah mendoakan masuk surga orang yang menganiaya dan menzalimi.
“Teori
terbalik”, barang kali itu yang mewakili pola pikir kaum sufi. Melihat sesuatu
dari sudut yang jarang dijamah kebanyakan orang. Yang buruk terasa baik, pahit malah
berasa manis. Kaum sufi begitu memahami hakikat suatu perkara, mengunci cela-cela
yang rawan dimanfaatkan setan terkutuk. Sikap mengagumkan juga ditunjukkan Syaikh
al-Ahnaf.
Syaikh al-Ahnaf bin
Qais pernah dicaci maki habis-habisan oleh seorang lelaki. Respon beliau hanya diam
seribu bahasa, menikmati kata-perkata yang dilontarkan lelaki itu. Pahit dan
kasarnya cemoohan terdengar sayu dan mengalun indah di telinga beliau. Malah
beliau mengkhawatirkan lelaki pencaci tadi, takut ucapannya terdengar warga sekitar
yang akan membikin warga bertindak anarkis kepadanya. Begitu bijak para sufi
menyikapi perilaku seseorang. Budi luhur yang kokoh tertancap dalam sanubari
mereka, mengakar kuat hingga menjadi jati diri sejati.
Para sufi ini tentu
tidak berkreasi sendiri, mereka menapak-tilasi prototipe sempurna Muhammad SAW.
Bukankah amat masyhur cerita perlakuan buruk orang-orang Arab Jahiliyah kepada
beliau. Mereka menuduh Rasulullah sebagai tukang sihir, melempari beliau dengan
kotoran unta dan kerikil tajam. Namun, betapa mulia hati beliau yang berdoa: “اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِيْ فَاِنَّهُمْ
لَايَعْلَمُوْنَ”, untuk membalas kelakuan keji mereka.
Rep: Binkhozin
Penulis: Saharudin
Yusuf
Posting Komentar