0 Comment


Konon, suatu hari Syaikh Ibrahim bin Adham, keluar rumah hendak mengunjungi seorang sahabat. Di tengah jalan sang syaikh bertemu seorang prajurit. Melihat ada orang asing, si prajurit lalu bertanya: “Apakah engkau seorang budak sahaya?” “Betul,” jawab syaikh singkat. “Bisakah engkau tunjukkan, dimana arah pemukiman penduduk?” Tanpa sepatah kata, Ibrahim menuding ke arah kuburan.
Si prajurit meyakinkan jawaban syaikh dengan mengulang pertanyaannya. Kali ini Syaikh Ibrahim menjawab lugas: “Kuburan”. Si prajurit geram lalu memukul kepala beliau hingga mengucurkan darah. Bukannya marah, Ibrahim malah mendoakan si prajurit masuk surga. Kala ditanya perihal sikapnya Ibrahim beralasan: “Bukankah prajurit itu telah menghadiahiku sebongkah pahala? Sudah selayaknya aku balas kebaikannya”. Berkat sabar menahan emosi dan tidak meluapkan amarah, Syaikh Ibrahim bisa memetik pahala besar.
Dunia sufi memang penuh rahasia. Perilaku dan tutur kata sarat akan makna. Nalar dan corak berpikirnya sulit dicerna kalangan akar rumput. Kisah tadi merefleksikan kearifan kaum sufi. Mereka tidak kenal dengki, sakit hati, balas dendam, atau perangai buruk lainnya. Air tuba dibalas air susu, racun ditukar madu. Di aniaya dan dizalimi malah mendoakan masuk surga orang yang menganiaya dan menzalimi.
“Teori terbalik”, barang kali itu yang mewakili pola pikir kaum sufi. Melihat sesuatu dari sudut yang jarang dijamah kebanyakan orang. Yang buruk terasa baik, pahit malah berasa manis. Kaum sufi begitu memahami hakikat suatu perkara, mengunci cela-cela yang rawan dimanfaatkan setan terkutuk. Sikap mengagumkan juga ditunjukkan Syaikh al-Ahnaf.
Syaikh al-Ahnaf bin Qais pernah dicaci maki habis-habisan oleh seorang lelaki. Respon beliau hanya diam seribu bahasa, menikmati kata-perkata yang dilontarkan lelaki itu. Pahit dan kasarnya cemoohan terdengar sayu dan mengalun indah di telinga beliau. Malah beliau mengkhawatirkan lelaki pencaci tadi, takut ucapannya terdengar warga sekitar yang akan membikin warga bertindak anarkis kepadanya. Begitu bijak para sufi menyikapi perilaku seseorang. Budi luhur yang kokoh tertancap dalam sanubari mereka, mengakar kuat hingga menjadi jati diri sejati.
Para sufi ini tentu tidak berkreasi sendiri, mereka menapak-tilasi prototipe sempurna Muhammad SAW. Bukankah amat masyhur cerita perlakuan buruk orang-orang Arab Jahiliyah kepada beliau. Mereka menuduh Rasulullah sebagai tukang sihir, melempari beliau dengan kotoran unta dan kerikil tajam. Namun, betapa mulia hati beliau yang berdoa: “اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِيْ فَاِنَّهُمْ لَايَعْلَمُوْنَ”, untuk membalas kelakuan keji mereka.


Rep: Binkhozin
Penulis: Saharudin Yusuf

Posting Komentar

 
Top