2 Comment


Ziarah kubur merupakan sebuah tradisi yang telah turun temurun dilakukan oleh penganut Ahlussunnah wal Jamaah, terlebih di negeri kita, bumi Nusantara. Tradisi ziarah kubur menjadi media pengingat akan hadirnya kematian. Dalam praktek yang kita saksikan ada berbagai hal yang dilakukan peziarah saat berziarah kubur, ada yang hanya duduk bersimpuh membaca tahlil dan al-Qur’an, dan ada pula yang sambil mengusap serta mencium makam. Dalam kajian kali ini penulis akan mengupas bagaimana syariat memandang tradisi mencium makam, serta hubungannya dengan tabarruk menurut Ahlusunah wal Jamaah.
Dalam Madzhab Syafi’i hukum asal mencium makam adalah makruh. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Majmu’-nya. Namun hukum makruh dalam mencium dan mengusap makam ini tidaklah mutlak. Ada beberapa hal yang bisa mengubah hukum mengusap dan mencium makam ke dalam hukum boleh atau bahkan sunah. Diantaranya adalah tujuan bertabaruk. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Romli, dan menurut beliau pendapat ini adalah pendapat yang Mu’tamad (kuat) di dalam Madzhab Syafi’i.
Kebolehan mencium dan mengusap makam dengan tujuan tabarruk ini banyak dikupas di dalam kitab-kitab mu’tabarah madzhab Syafi’i. Seperti dalam Majmu’ Syarh Muhadzdzab, Bujairami alal-Manhaj, Bughyah al-Mustarsyidin dan kitab-kitab mu’tabarah fiqih Syafi’i lainnya.
Imam Thabrani juga mengungkapkan pendapat yang senada, bahkan menurut beliau tradisi ini merupakan kebiasaan baik yang dilakukan para ulama’ dan orang-orang shaleh. Tentunya mereka (ulama’ dan shalihin) tidak akan sembarangan dalam mencium makam. Makam yang mereka cium tentunya hanya makam-makam orang yang memiliki keutamaan, seperti para nabi, wali, ulama’ dan orang-orang sholeh, dengan tujuan mengalap berkah seperti yang disebutkan di muka.
Bila kita menengok sejarah para sahabat, ternyata ada riwayat tentang Sayyidina Bilal bin Rabbah yang mengusap-usap dan mencium makam Nabi sebagai luapan rasa rindu tatkala beliau berkunjung ke Madinah. Dan saat itu tak ada satupun sahabat yang mengingkari tindakan beliau.
Ada pula riwayat tentang seorang ulama’,  yaitu al-Imam al-Hafizh Abdul Ghani bin Sa’id al-Maqdisi suatu ketika beliau ditimpa sakit bisul yang tak kunjung sembuh, beliau lalu bertabaruk dengan makam Imam Ahmad bin Hanbal. Ia usapkan tangan itu ke makam Imam Ahmad, lalu dengan kehendak Allah bisul itu sembuh dan tidak kambuh lagi.
Kesimpulan
Hukum mencium makam -Dalam Madzhab Syafi’i- hanya berkisar makruh, mubah dan bahkan sunah, tidak sampai haram, apalagi dianggap syirik dan bid’ah, tentu itu hanyalah vonis orang-orang yang dangkal keilmuannya. Hukum makruh bisa menjadi mubah dan sunah bila yang dicium adalah makam para Fudlola’ (orang-orang yang memiliki keutamaan) disertai tujuan tabarruk. Wallahu A’lam.

Rep : Binkhozin
Penulis: Mustafid Ibnu Khozin

Posting Komentar

  1. Wahabi memang gitu. Nakal. Dikit-dikit Bide'ah..... Apa gk capek kafir-kafirin orang.... Huh :-b

    BalasHapus
  2. Iye Bang Nuris, makanye kite harus terus tegakkan Akidah Ahlusunah wal Jamaah. Kite kasih mereka penjelasan pegimane pemahaman ulama salaf yang sebenernye. Biar mereka tahu. (c) cheer

    BalasHapus

 
Top