Ziarah kubur merupakan sebuah tradisi yang telah turun
temurun dilakukan oleh penganut Ahlussunnah wal Jamaah, terlebih di negeri
kita, bumi Nusantara. Tradisi ziarah kubur menjadi media pengingat akan
hadirnya kematian. Dalam praktek yang kita saksikan ada berbagai hal yang
dilakukan peziarah saat berziarah kubur, ada yang hanya duduk bersimpuh membaca
tahlil dan al-Qur’an, dan ada pula yang sambil mengusap serta mencium makam.
Dalam kajian kali ini penulis akan mengupas bagaimana syariat memandang tradisi
mencium makam, serta hubungannya dengan tabarruk menurut Ahlusunah wal Jamaah.
Dalam Madzhab Syafi’i hukum asal mencium makam adalah
makruh. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Majmu’-nya.
Namun hukum makruh dalam mencium dan mengusap makam ini tidaklah mutlak. Ada
beberapa hal yang bisa mengubah hukum mengusap dan mencium makam ke dalam hukum
boleh atau bahkan sunah. Diantaranya adalah tujuan bertabaruk. Pendapat ini
disampaikan oleh Imam Romli, dan menurut beliau pendapat ini adalah pendapat
yang Mu’tamad (kuat) di dalam Madzhab Syafi’i.
Kebolehan mencium dan mengusap makam dengan tujuan
tabarruk ini banyak dikupas di dalam kitab-kitab mu’tabarah madzhab Syafi’i.
Seperti dalam Majmu’ Syarh Muhadzdzab, Bujairami alal-Manhaj, Bughyah al-Mustarsyidin
dan kitab-kitab mu’tabarah fiqih Syafi’i lainnya.
Imam Thabrani juga mengungkapkan pendapat yang senada,
bahkan menurut beliau tradisi ini merupakan kebiasaan baik yang dilakukan para
ulama’ dan orang-orang shaleh. Tentunya mereka (ulama’ dan shalihin)
tidak akan sembarangan dalam mencium makam. Makam yang mereka cium tentunya
hanya makam-makam orang yang memiliki keutamaan, seperti para nabi, wali,
ulama’ dan orang-orang sholeh, dengan tujuan mengalap berkah seperti yang
disebutkan di muka.
Bila kita menengok sejarah para sahabat, ternyata ada
riwayat tentang Sayyidina Bilal bin Rabbah yang mengusap-usap dan mencium makam
Nabi sebagai luapan rasa rindu tatkala beliau berkunjung ke Madinah. Dan saat
itu tak ada satupun sahabat yang mengingkari tindakan beliau.
Ada pula riwayat tentang seorang ulama’, yaitu al-Imam al-Hafizh Abdul Ghani bin Sa’id
al-Maqdisi suatu ketika beliau ditimpa sakit bisul yang tak kunjung sembuh,
beliau lalu bertabaruk dengan makam Imam Ahmad bin Hanbal. Ia usapkan tangan
itu ke makam Imam Ahmad, lalu dengan kehendak Allah bisul itu sembuh dan tidak
kambuh lagi.
Kesimpulan
Hukum mencium makam -Dalam Madzhab Syafi’i- hanya
berkisar makruh, mubah dan bahkan sunah, tidak sampai haram, apalagi dianggap
syirik dan bid’ah, tentu itu hanyalah vonis orang-orang yang dangkal
keilmuannya. Hukum makruh bisa menjadi mubah dan sunah bila yang dicium adalah
makam para Fudlola’ (orang-orang yang memiliki keutamaan) disertai
tujuan tabarruk. Wallahu A’lam.
Rep : Binkhozin
Penulis: Mustafid Ibnu
Khozin
Wahabi memang gitu. Nakal. Dikit-dikit Bide'ah..... Apa gk capek kafir-kafirin orang.... Huh :-b
BalasHapusIye Bang Nuris, makanye kite harus terus tegakkan Akidah Ahlusunah wal Jamaah. Kite kasih mereka penjelasan pegimane pemahaman ulama salaf yang sebenernye. Biar mereka tahu. (c) cheer
BalasHapus